Meraba Kisah Astrabaya

Ketika melewati jalan dengan pemandangan hamparan persawahan di Desa Sawangan, maka kita akan mendapati sebuah mushala yang apabila masa tumbuh padi berada pada tahap stem elongation --yaitu tahapan dimana padi mulai tumbuh tinggi dan daun mulai menutup--, maka mushala ini akan tampak seolah mengambang tenang diatas rerimbun daun yang tak henti berayun. Tak jauh dari mushala, ada sebuah bangunan sederhana, inilah makam Mbah Astrabaya.

Menurut cerita, Mbah Astrabaya inilah yang pertama kali babad alas atau membuka lahan di Sawangan. Lalu siapakan mbah Astrabaya?

Memiliki nama asli Ki Madusena, beliau adalah putra dari Ki Ageng Mangir IV/Ki Ageng Wikerta dengan putri Panembahan Senopati yang bernama Raden Ayu Pembayun (ada yang berpendapat beliau adalah putra Ki Ageng Mangir III).

Pernikahan Ki Ageng Mangir diawali dengan penyamaran Pembayun menjadi salah satu ronggeng untuk memikat Ki Ageng Mangir agar dapat ditaklukkan Mataram. Cara ini ternyata berhasil. Ki Ageng Mangir jatuh hati dengan Pembayun dan menyuntingnya. Identitas Pembayun sebagai putri Raja Mataram pun dirahasiakan sampai tujuh bulan usia kandungan Pambayun.

Pengakuan Pembayun sangat mengejutkan, sebab selama ini Panembahan Senopati berusaha menaklukan Ki Ageng Mangir untuk memperluas wilayah kerajaan Mataram. Dengan besar hati dan itikad baik Ki Ageng Mangir kemudian bersedia ke Mataram bertemu dengan Panembahan Senopati.

Dikisahkan pada saat Ki Ageng Mangir dan Pembayun akan memasuki pendopo, Ki Juru Mertani yang merupakan Penasehat Raja memerintahkan agar Ki Ageng Mangir tidak membawa senjata pusakanya, tombak “Baru Upas” (atau tombak Baru Klinthing).

Peristiwa selanjutnya sungguh diluar dugaan Ki Ageng Mangir dan Pembayun. Sesaat sebelum sungkem, tiba-tiba terdengar teriakan diikuti sambaran cepat mengenai Ki Ageng Mangir sehingga kepalanya membentur batu dihadapannya. Ki Ageng Mangir meninggal seketika.

Tidak lama setelah melahirkan Madusena, Pembanyun kemudian meninggal dan dimakamkan di desa Karangturi Kota Gede. Madusena kecil selanjutnya diasuh oleh Ki Gondamakuta (anak Ki Ageng Karang Loh) di Pademangan Karang Loh. Pada usia 7 tahun, Madusena dibawa Ki Gondamakuta mengungsi ke desa Wadja karena pada saat itu pihak keraton selalu mencari-cari keberadaan beliau.

Tahun 1602 Madusena menikah dengan Dewi Madjadji dan dikaruniai tiga putra, yaitu Bagus Badranala, Bagus Jagabaya, dan Rara Perkis.

Kenapa bisa sampai di Sawangan? Disinilah kisah terlihat samar. Ada yang menyebutkan bahwa Ki Madusena sangat dimusuhi dan dicari oleh pemerintah Kolonial Belanja, sehingga beliau harus berpindah-pindah tempat hingga sampai dan membuka lahan di Sawangan.



Sumber:
Gambar oleh: Sawangan Mbiyen Lan Saiki
Artikel: disarikan dari: https://kebumen2013.com/makam-ki-madusena-astrabaya-sawangan-alian-kebumen/, diakses pada tanggal 20 Oktober 2018

Tidak ada komentar